#30HariBercerita — Mata Rantai

Alesha Tivadar
4 min readJul 15, 2023

--

Pinterest

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hubabah Halimah Alaydrus pada bukunya, Bidadari Bumi, kehidupan adalah mata rantai yang saling terhubung satu sama lain. Keadaanmu sekarang ditentukan oleh jalinan mata rantai masa lalu, dan masamu sekarang membentuk keadaanmu dimasa yang akan datan. Dunia maupun akhirat.

Beberapa penelitian mengatakan bahwa emotional dan pengalaman kita dimasa kecil akan membentuk karakter kita ketika dewasa. Ketika dewasa, justru kita terkadang tertarik untuk mengulik innerchild kita, baik berupa tindakan ataupun perasaan. Lebih menariknya lagi, hal-hal kecil yang terjadi di masa kecil justru yang lebih melekat diingatan dan mudah untuk di recall ulang.

Hal tersebut mengingatkan ku ketika berada di bangku Sekolah Dasar, tentang sebuah perjalanan menemukan tentram. Sehabis waktu subuh, beberapa orang mengikuti kegiatan hafalan di sebuah pondok yang bernama Al-Mumajjad. Pondok tersebut terletak dekat dengan sebuah Masjid yang berjarak tujuh rumah dari rumahku. Tak banyak santri, penuntut ilmu, yang bermukim disana pun tak lebih dari sepuluh orang. Akan tetapi, nuansa dan tempat seakan menaruh kata nyaman dan damai. Termasuk kang-kang dan mba-mba yang begitu ramah. Sebelum memulai kegiatan, terlebih dahulu kita membaca sholawat sambil menunggu Abah, panggilan kyai di pondok itu, datang untuk menyimak bacaan kami. Pesertanya pun beragam, ada yang sudah SMA, SMP dan SD. Begitu pula hafalan yang di setorkan pun beragam, ada yang sudah menghafal ber juz-juz, dan ada pula yang baru memulai dengan surah-surah pendek, aku termasuk bagian yang kedua.

Untuk teknis setoran hafalannya, Abah duduk di tengah-tengah meja panjang yang memiliki lebar 30 cm dan panjang kurang lebih 2 meter, yang ditata dan dibuat mengelilingi Abah. Kita pun menempati meja-meja tersebut. Disaat sebuah tongkat penunjuk yang beriameter 1 cm dengan panjang setengah meter belum di ketokkan pada meja yang kita tempati, itu tandanya kita belum boleh memulai. Begitu pula sebaliknya, ketika tongkat sudah di ketokkan tepat dimeja yang kita tempati, maka saat itulah kita memulai membaca surah Al-Qur’an yang sudah dihafal. Berbagai lantunan ayat pun seakan menggema, seolah menampilkan keindahan dan keagungan ayat-ayat Nya. Tak jarang diri ini terdistraksi ketika fokus sedang tidak hadir. Hal tersebut membuat ku mendapatkan satu ketokkan di meja, saat pertengahan pembacaan surah. Hal tersebut menandakan ada kesalahan ayat yang dilantunkan. Disaat seperti itu, aku pun terkadang terdiam cukup lama untuk mengingat ulang hafalan. Ketika tak juga menemu temu, dan terdiam cukup lama, terkadang Abah akan membenarkan kesalahan ayat yang dilafalkan. Pun jika tidak terlalu lancar, biasanya langsung mendapatkan dua ketokkan, yang berarti kita harus menyudahi hafalan.

Saat kelulusan SD, aku pun harus berpindah tempat ke daerah kota untuk melanjutkan studi dijenjang selanjutnya. Ketika terbesit keinginan untuk melanjutkan di sekolah negeri, aku pun bergegas untuk mencari-cari persyaratan apa yang harus dipenuhi untuk dapat mendaftar di sekolah negeri tersebut. Akan tetapi, nasib berkata lain aku mendapatkan kendala pada pemindahan berkas-berkas yang harus disertakan, pada saat itu harus mempunyai surat pindah rayon yang diberika dari sekolah SD ku sebelumnya. Aku pun tak tau perihal surat tersebut. Hingga pada akhirnya, aku memutuskan untuk melanjutkan studi di sekolah swasta islam. Di sekolah ini pun banyak ekstrakulikuler yang dapat diikuti. Saat itu aku memilih untuk mengikuti Paskibra dan Tahfidz. Paskibraka, Pasukan Pengibar Bendera Pusaka, membuatku mendapatkan pengalaman untuk bertandang ke berbagai sekolah SMA untuk mengikuti lomba yang diadakan untuk antar sekolah siswa SMP. Alhamdulillah, kami dapat membawa piala untuk sekolah meski terkadang harus pulang dengan tangan hampa. Tahfidz, program menghafal Al-Qur’an, di sekolah ini sangat berbeda dengan yang aku alami ketika di Pondok Al-Mumajjad. Kegiatan ini dilaksanakan selepas pulang sekolah, tepatnya ba’da zuhur. Untuk teknis menghafalnya, kita terlebih dahulu memberi tahu berapa ayat atau surah yang akan disetorkan, dengan berhadapan face to face layaknya dua orang yang sedang diskusi tanpa disertai meja sebagai penghalang. Setelah semua hafalan sudah disetorkan, tak lupa kita harus mencatat di buku laporan yang berbentuk satu lembar kertas tebal, yang harus di tanda tangani oleh ummi, sebutan salah satu guru perempuan pembimbing Tahfidz, sebagai tanda hafalan.

Memasuki jenjang pendidikan SMA, aku memutuskan untuk melanjutkan studi di pondok pesantren. Pada saat itu, wali kelas sempat merayu agar menlanjutkan SMA Negeri Satu, karena nilai rapor terbilang cukup memadai, sayang jika tidak melanjutkan di sekolah Negeri. Satu hal yang membuatku memutuskan untuk melanjutkan studi di pondok tak lain karena saat SMP aku sempat membaca sebuah novel yang mentriger keinginan untuk mondok. Pada saat itu, aku tidak tau harus mondok di daerah mana. Hal terpenting yang terfikirkan saat itu adalah aku ingin mondok. Singkat cerita, pada saat aku mengutarakan niat untuk mondok kepada kedua orang tua, wal hasil di kenalkan dengan anak tetangga yang akupun juga tidak mengenal dengan dekat, yang mana oranga tersebut sudah lebih awal mondok di daerah Jawa Timur. Akhirnya, akupun bersedia meski ribuan kilometer harus ditempauh dan harus berpisah jauh dari kedua orang tua.

Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, disanalah aku mengenyam pendidikan agama sekaligus pendidikan formal. Yang mana, pendidikan agama dilaksanakan dari mulai jam tujuh pagi hingga sepuluh pagi. Untuk pendidikan umum atau pendidikan formal, yang pada saat itu aku sedang berada ditingkat SMA, dilaksanakan pada siang hari.

Dari seklumit kisah hidup yang aku lalui, sejenak aku merenung. Ternyata benar adanya, jika dimasa kecil seseorang sudah diperkenalkan tentang agama, maka seiring beranjak dewasa ia akan menemukan atau bahkan kembali lagi untuk mengenal agama. Meski di tengah perjalanan, seakan sedikit menjauh dari agama, namun pada akhirnya ia akan menemukan kedamaian yang sudah di jalani jauh sebelum saat masih kecil atau kita sebut mencari lagi innerchild yang kita anggap di fase yang menentramkan.

Mengutip salah satu petuah dari Ustad salim A.Fillah bahwasanya;

“Jika hati senantiasa berbuat baik, Allah akan pertemukan dengan hal baik, dengan orang-orang baik, tempat yang baik dan kesempatan untuk berbuat baik.”

--

--

Alesha Tivadar
Alesha Tivadar

No responses yet